Jakarta: Presiden Joko Widodo mengakui kalau cawe-cawe Pemilu yang dilakukannya demi kepentingan nasional. Menurut Jokowi, memilih pemimpin pada 2024 sangat krusial.
Menanggapi hal itu, peneliti senior Pusat Riset Politik (PRP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor menilai pernyataan Jokowi justru dapat ditafsirkan berbeda karena seolah-olah pihak yang tidak ia dukung akan membawa Indonesia ke arah yang tidak baik.
"Karena seolah-olah, pihak yang dia tidak dukung itu akan membawa Indonesia ke arah yang tidak baik. Itu, kan bisa ditafsirkan seperti itu," kata Firman, Rabu, 7 Juni 2023.
Firman mengatakan seorang presiden boleh-boleh saja mendukung kandidat presiden tertentu. Hal itu juga dilakukan Barrack Obama di akhir masa jabatannya yang mendukung Hillary Clinton pada Pilpres Amerika Serikat 2016. Kendati demikian, Firman menekankan bahwa dukungan tersebut baru dilakukan saat masa kampanye dan mendekati pemungutan suara.
"Itu memang Obama menunjukkan keberpihakannya. Setahun sebelum pemilu, Obama enggak pernah cawe-cawe, tapi perlu diingat, bahwa selain kapannya (waktu meng-endorse), lingkungan politik Amerika itu sudah modern," jelas Firman.
Menurut Firman, netralitas struktur dan birokrasi di Amerika telah terjamin meski seorang presiden memberikan endorsement kepada calon tertentu. Hal itu berbeda sekali dengan struktur dan birokrasi di Indonesia. Sebab, dukungan yang dilakukan presiden di Indonesia terhadap calon tertentu akan berdampak pada keberpihakan struktur di bawahnya.
Gejala post power syndrome
Cawe-cawe Pemilu yang dilakukan Jokowi bisa jadi pertanda kalau presiden saat ini mengalami
post power syndrome atau sindrom pascakekuasaan. Jokowi sendiri telah menjadi orang nomor satu di Indonesia hampir 10 tahun.
"Kalau (Presiden) mau melibatkan diri dalam politik praktis di Pemilu 2024, itu bisa saja terjangkit post power syndrome," kata pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin.
Menurut Ujang pejabat yang bakal mengakhiri kekuasaaan cenderung tidak lagi menjadi menjadi pusat perhatian masyarakat. Selain itu, ia juga membuka kemungkinan bahwa cawe-cawe Presiden dijalankan untuk mengamankan persoalan hukum, bisnis, maupun pengaruh ke depannya.
Meski begitu , apapun motifnya, ia menilai seharusnya Presiden tidak melakukan cawe-cawe politik. Sebaliknya, Jokowi mest dapat memosisikan diri sebagai seorang negarawan dan presiden yang adil, baik untuk rakyat maupun kandidiat calon presiden.
"Agar Jokowi punya legacy yang bagus, agar punya cerita yang bagus, dikenang sebagai presiden yang bagus dan landing (mengakhiri jabatan) dengan baik," tandasnya.