Nasional • 3 months ago
Ditolaknya gugatan sistem pemilu proporsional terbuka oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis 15 Juni 2023, pantas kita apresiasi. MK telah membela demokrasi dan keinginan rakyat.
Meski begitu, kemenangan demokrasi barulah setengah jalan. Kemenangan utuh baru didapatkan jika pemilu terlaksana dengan partisipasi pemilih yang tinggi dan minim, bahkan nihil, pelanggaran.
Soal partisipasi pemilih, memang Kemendagri telah memprediksi kenaikan sekitar 48 juta pemilih atau menjadi 206 juta orang dari Pemilu 2019. Hal ini terjadi karena meningkatnya jumlah penduduk yang masuk ke usia pemilih.
Namun, keinginan orang untuk datang ke TPS dipengaruhi banyak faktor. Masyarakat pun kini sangat kritis dengan berbagai dinamika politik. Adanya gugatan sistem pemilu, kemarin, juga membuat sebagian masyarakat menyatakan ogah datang ke TPS jika MK memenangkan gugatan itu.
Faktor berikutnya yang banyak dikeluhkan ialah kualitas caleg. Banyaknya parpol yang lebih mengutamakan caleg populer ketimbang caleg berkualitas menunjukkan parpol belum mampu menghadapi dua sisi yang ada dari sistem proporsional terbuka.
Meski jelas lebih demokratis, kita juga harus memahami sistem proporsional terbuka membuat sosok caleg sangat menentukan bagi perolehan suara. Namun, sekali lagi, itu bukan berarti sekadar populer.
Bukti gamblangnya ialah terus turunnya persentase keberhasilan caleg artis. Berturut dari Pemilu 2009, 2014, dan 2019, persentase caleg menang ialah 31%, 29%, dan lantas menjadi 12% saja. Padahal, berdasarkan jumlah, caleg artis justru makin banyak digaet parpol.
Begitu kuatnya nafsu mengejar popularitas maka di pendaftaran caleg Pemilu 2024 ini pun kita melihat kekonyolan adanya artis yang sampai mendaftar melalui dua parpol. Kasus ini seharusnya menjadi tamparan keras pada parpol bersangkutan karena telah mempermalukan diri lewat seleksi internal yang sangat lemah.
Dari berbagai peristiwa itu pula, sudah saatnya parpol benar-benar membuka mata. Sekadar ‘menjual’ caleg populer, artis ataupun bukan, tidak akan membuat parpol meraih banyak kursi.
Candu caleg populer itu hanya bisa diputus jika parpol melaksanakan kaderisasi dengan sungguh-sungguh. Dengan program kaderisasi yang matang barulah caleg akan menjadi legislator yang dapat menangkap aspirasi rakyat, apa pun latar belakangnya.
Kaderisasi itu pula yang sesungguhnya menjadi kunci penting untuk semakin mewujudkan pemilu yang bersih. Berkaca dari Pemilu 2019, politik uang masih mendominasi kasus pelanggaran pemilu.
Kita harus memahami sesungguhnya politik uang masih bercokol bukan hanya karena tingkat ekonomi yang lemah. Masyarakat masih bisa tergiur dengan serangan fajar ketika memang tidak ada calon yang bisa mereka harapkan dan percayai.
Contoh legislator yang mematahkan kekuatan uang sebenarnya juga bukan langka. Ingat saja kisah tukang ojek Abdul Wahid Ibrahim di Manado, Sulawesi Utara, yang lolos DPRD. Abdul hanya bermodal Rp5 juta, dan bahkan konstituennya yang mengumpulkan uang Rp30 juta untuk dana kampanyenya. Masyarakat setempat bergotong royong memenangkannya karena ia dianggap menjadi panutan dengan kehidupannya yang jujur dan sederhana.
Saat ini, masa pendaftaran caleg memang telah usai dan mulai 15 Juni, KPU masuk ke tahap verifikasi administrasi. Meski begitu, bukan berarti tugas parpol telah menjadi lebih ringan dalam menghasilkan pemilu yang berkualitas. Parpol harus memastikan seluruh calegnya berkomitmen menjalankan kampanye yang jujur dan fair, termasuk tanpa kampanye hitam dan politik uang.
Sejurus dengan itu, kita juga menuntut agar KPU dan Bawaslu menjamin pemilu yang bersih. Tidak hanya itu, kedua lembaga ini juga harus dapat menjalankan kerja dengan netral. Begitu pun aparatur pemerintahan. Meski Presiden Joko Widodo akan cawe-cawe dalam menentukan penggantinya, mereka diharapkan tetap menjaga netralitas dalam Pemilu 2024.